Modul Mata Kuliah PANCASILA
Prolog
TINJAUAN MATA
KULIAH
Mata kuliah Pendidikan Pancasila memberikan penjelasan
tentang perlunya diberikan perkuliahan Pancasila dari berbagai sudut pandang,
beberapa teori asal mula, fungsi dan kedudukan, hubungannya dengan Pembukaan
UUD 1945, pemikiran dan pelaksanaan serta reformasi pemikiran dan pelaksanaan
Pancasila. Selain hal tersebut di atas, pada matakuliah Pendidikan Pancasila
ini juga dibahas permasalahan aktual dewasa ini khususnya tentang SARA, HAM,
krisis ekonomi, dan berbagai pemikiran yang digali dari nilai-nilai Pancasila.
Modul-modul matakuliah Pendidikan Pancasila ini
disusun berdasarkan Garis Besar Program Pembelajaran yang tertuang dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nomor:
265/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Pancasila Pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
Tujuan umum yang ingin dicapai oleh matakuliah
Pendidikan Pancasila tertuang dalam Tujuan Instruksional Umum, yaitu mahasiswa
diharapkan dapat:
- Memahami landasan diberikannya
perkuliahan Pancasila.
- Memahami pengertian Pancasila.
- Memahami pengetahuan ilmiah
secara umum dan Pancasila sebagai pengetahuan ilmiah.
- Memahami Pancasila sebagai
obyek studi ilmiah.
- Memahami pengertian teori asal
mula.
- Memahami teori asal mula
Pancasila secara budaya, asal mula Pancasila formal, dan dinamika
Pancasila sebagai dasar negara.
- Memahami dan menjelaskan fungsi
serta kedudukan Pancasila, baik secara formal yaitu Pancasila sebagai
Dasar Negara Indonesia maupun secara material yakni Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa.
- Memahami dan menjelaskan
tentang hubungan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maupun
kedudukan hakiki Pembukaan UUD 1945.
- Memahami dan menjelaskan
pemikiran dan pelaksanaan Pancasila serta Reformasi pemikiran dan
pelaksanaan Pancasila.
- Memahami dan menjelaskan
berbagai permasalahan aktual dewasa ini, khususnya permasalahan SARA, HAM,
dan krisis ekonomi serta berbagai pemikiran yang digali dari nilai-nilai
Pancasila untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Beban kredit matakuliah Pendidikan Pancasila adalah 2
sks. Setiap sks mempunyai 3 modul sehingga matakuliah ini mempunyai 6 modul.
Keenam judul modul mencerminkan tujuan instruksional umum yang dibahas pada
modul tersebut. Adapun judul modul tersebut adalah:
Modul 1 : Pancasila dan Pengetahuan Ilmiah
Modul 2 : Asal Mula Pancasila
Modul 3 : Fungsi dan Kedudukan Pancasila
Modul 4 : Pancasila dan UUD 1945
Modul 5 : Pelaksanaan Pancasila
Modul 6 : Pancasila dan Permasalahan Aktual
Tujuan instruksional umum tersebut di atas kemudian
dipecah/dirinci lagi dalam satu atau lebih tujuan instruksional khusus. Esensi
tujuan instruksional khusus tersebut mencerminkan jenis-jenis perilaku akhir
yang seyogianya dapat ditunjukkan oleh para mahasiswa setelah mempelajari modul
ini.
Keseluruhan pembahasan bahan-bahan kuliah yang
terdapat di dalam modul ini penyajiannya diusahakan sesederhana mungkin,
terutama untuk hal tertentu yang materinya banyak, akan tetapi tentu saja ada
bahan-bahan yang memang belum tertampung dalam modul seluruhnya, untuk
pengembangan dan penyajiannya dapat dilihat dari sumber Pustaka lain. Demikin
gambaran tentang matakuliah Pendidikan Pancasila. Dengan adanya gambaran ini
diharapkan para mahasiswa dapat menyiapkan diri untuk lebih baik.
Selamat belajar semoga sukses!
===================
Modul 1
PANCASILA DAN
PENGETAHUAN ILMIAH
Kegiatan
Belajar 1
LANDASAN PERKULIAN DAN PENGERTIAN PANCASILA
Seluruh warga negara kesatuan Republik Indonesia sudah
seharusnya mempelajari, mendalami dan mengembangkannya serta mengamalkan
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Tingkatan-tingkatan pelajaran mengenai Pancasila yang
dapat dihubungkan dengan tingkat-tingkat pengetahuan ilmiah. Tingkatan
pengetahuan ilmiah yakni pengetahuan deskriptif, pengetahuan kausal,
pengetahuan normatif, dan pengetahuan esensial. Pengetahuan deskriptif menjawab
pertanyaan bagaimana sehingga bersifat mendiskripsikan, adapun pengetahuan
kausal memberikan jawaban terhadap pertanyaan ilmiah mengapa, sehingga mengenai
sebab akibat (kausalitas). Pancasila memiliki empat kausa :kausa materialis
(asal mula bahan dari Pancasila), kausa formalis (asal mula bentuk), kausa
efisien (asal mula karya), dan kausa finalis (asal mula tujuan).
Tingkatan pengetahuan normatif merupakan hasil dari
pertanyaan ilmiah kemana. Adapun pengetahuan esensial mengajukan pemecahan
terhadap pertanyaan apa, (apa sebenarnya), merupakan persoalan terdalam karena
diharapkan dapat mengetahui hakikat. Pengetahuan esensial tentang Pancasila
adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang inti sari atau makna terdalam
dalam sila-sila Pancasila atau secara filsafati untuk mengkaji hakikatnya.
Pelajaran atau perkuliahan pada perguruan tinggi, oleh karena itu, tentulah
tidak sama dengan pelajaran Pancasila yang diberikan pada sekolah menengah.
Tanggung jawab yang lebih besar untuk mempelajari dan
mengembangkan Pancasila itu sesungguhnya terkait dengan kebebasan yang
dimilikinya.
Tujuan pendidikan Pancasila adalah membentuk watak
bangsa yang kukuh, juga untuk memupuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai dan norma-norma Pancasila. Tujuan perkuliahan Pancasila adalah agar
mahasiswa memahami, menghayati dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam
kehidupan sehari-hari sebagai warga negara RI, juga menguasai pengetahuan dan
pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang hendak diatasi dengan pemikiran yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945.
Kegiatan
Belajar 2
PANCASILA SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAHR
Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi
syarat-syarat ilmiah yakni berobjek, bermetode, bersistem, dan bersifat
universal. Berobjek
terbagi dua yakni objek material dan objek formal. Objek material berarti memiliki sasaran yang
dikaji, disebut juga pokok soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju
atau dijadikan bahan untuk diselidiki. Sedangkan objek formal adalah titik
perhatian tertentu (focus of interest, point of view) merupakan titik pusat
perhatian pada segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan.
Bermetode atau mempunyai metode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai
dengan aturan-aturan yang logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan
tertentu. Bersistem atau bersifat sistematis bermakna memiliki kebulatan dan
keutuhan yang bagian-bagiannya merupakan satu kesatuan yang yang saling
berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan keseluruhan.
Bersifat universal, atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa
penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak
senang, setuju atau tidak setuju, melainkan karena alasan yang dapat diterima
oleh akal. Pancasila memiliki dan memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan
ilmiah sehingga dapat dipelajari secara ilmiah.
Di samping memenuhi syarat-syarat sebagai pengetahuan
ilmiah. Pancasila juga memiliki susunan kesatuan yang logis, hubungan antar
sila yang organis, susunan hierarkhis dan berbentuk piramidal, dan saling
mengisi dan mengkualifikasi.
Pancasila dapat juga diletakkan sebagai objek studi
ilmiah, yakni pendekatan yang dimaksudkan dalam rangka penghayatan dan
pengamalan Pancasila yakni suatu penguraian yang menyoroti materi yang
didasarkan atas bahan-bahan yang ada dan dengan segala uraian yang selalu dapat
dikembalikan secara bulat dan sistematis kepada bahan-bahan tersebut. Sifat
dari studi ilmiah haruslah praktis dalam arti bahwa segala yang diuraikan
memiliki kegunaan atau manfaat dalam praktek. Contoh pendekatan ilmiah terhadap
Pancasila antara lain: pendekatan historis, pendekatan yuridis konstitutional,
dan pendekatan filosofis.
Modul 2
ASAL MULA
PANCASILA
Kegiatan Belajar
1
TEORI ASAL MULA PANCASILA
Asal mula Pancasila dasar filsafat Negara dibedakan:
- Causa materialis (asal mula
bahan) ialah berasal dari bangsa Indonesia sendiri, terdapat dalam adat
kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya.
- Causa formalis (asal mula
bentuk atau bangun) dimaksudkan bagaimana Pancasila itu dibentuk
rumusannya sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ini BPUPKI memiliki peran yang sangat menentukan.
- Causa efisien (asal mula karya)
ialah asal mula yang meningkatkan Pancasila dari calon dasar negara
menjadi Pancasila yang sah sebagai dasar negara. Asal mula karya dalam hal
ini adalah PPKI sebagai pembentuk negara yang kemudian mengesahkan dan
menjadikan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara setelah melalui
pembahasan dalam sidang-sidangnya.
- Causa finalis (asal mula
tujuan) adalah tujuan dari perumusan dan pembahasan Pancasila yakni hendak
dijadikan sebagai dasar negara. Untuk sampai kepada kausan finalis
tersebut diperlukan kausa atau asal mula sambungan.
Unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia
sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut
bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan
di dalam kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat
kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan,
agama dan kebudayaan pada umumnya misalnya:
- Di Indonesia tidak pernah
putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, bukti-buktinya: bangunan
peribadatan, kitab suci dari berbagai agama dan aliran kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, upacara keagamaan pada peringatan hari besar agama,
pendidikan agama, rumah-rumah ibadah, tulisan karangan sejarah/dongeng
yang mengandung nilai-nilai agama. Hal ini menunjukkan kepercayaan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Bangsa Indonesia terkenal ramah
tamah, sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia, bukti-buktinya misalnya
bangunan padepokan, pondok-pondok, semboyan aja dumeh, aja adigang adigung
adiguna, aja kementhus, aja kemaki, aja sawiyah-wiyah, dan sebagainya,
tulisan Bharatayudha, Ramayana, Malin Kundang, Batu Pegat, Anting Malela,
Bontu Sinaga, Danau Toba, Cinde Laras, Riwayat dangkalan Metsyaha,
membantu fakir miskin, membantu orang sakit, dan sebagainya, hubungan luar
negeri semisal perdagangan, perkawinan, kegiatan kemanusiaan; semua
meng-indikasikan adanya Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Bangsa Indonesia juga memiliki
ciri-ciri guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan, sebagai bukti-buktinya
bangunan candi Borobudur, Candi Prambanan, dan sebagainya, tulisan sejarah
tentang pembagian kerajaan, Kahuripan menjadi Daha dan Jenggala, Negara
nasional Sriwijaya, Negara Nasional Majapahit, semboyan bersatu teguh
bercerai runtuh, crah agawe bubrah rukun agawe senthosa, bersatu laksana
sapu lidi, sadhumuk bathuk sanyari bumi, kaya nini lan mintuna, gotong
royong membangun negara Majapahit, pembangunan rumah-rumah ibadah,
pembangunan rumah baru, pembukaan ladang baru menunjukkan adanya sifat
persatuan.
- Unsur-unsur demokrasi sudah ada
dalam masyarakat kita, bukti-buktinya: bangunan Balai Agung dan Dewan
Orang-orang Tua di Bali untuk musyawarah, Nagari di Minangkabau dengan
syarat adanya Balai, Balai Desa di Jawa, tulisan tentang Musyawarah Para
Wali, Puteri Dayang Merindu, Loro Jonggrang, Kisah Negeri Sule, dan
sebagainya, perbuatan musyawarah di balai, dan sebagainya, menggambarkan
sifat demokratis Indonesia;
- Dalam hal Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas hidupnya
terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil terhadap sesama,
bukti-buktinya adanya bendungan air, tanggul sungai, tanah desa, sumur
bersama, lumbungdesa, tulisan sejarah kerajaan Kalingga, Sejarah Raja
Erlangga, Sunan Kalijaga, Ratu Adil, Jaka Tarub, Teja Piatu, dan
sebagainya, penyediaan air kendi di muka rumah, selamatan, dan sebagainya.
Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan
kristalisasi nilai-nilai yang baik-baik yang digali dari bangsa Indonesia.
Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai yang baik. Adapun kelima sila dalam
Pancasila merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus satu dengan
yang lainnya. Namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan
diskontinuitas antara hasil keputusan tindakan konkret dengan nilai budaya.
Kegiatan
Belajar 2
ASAL MULA PANCASILA SECARA FORMAL
BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya
Badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya
secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebagai
negara yang merdeka. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan
bala tentara Jepang di Jawa).
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali.
Sidang pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua
10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno
mengusulkan tentang dasar negara, sedangkan Soepomo mengenai paham negara
integralistik. Tindak lanjut untuk membahas mengenai dasar negara dibentuk
panitia kecil atau panitia sembilan yang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil
merumuskan Rancangan mukaddimah (pembukaan) Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muhammad
Yamin dinamakan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Sidang kedua BPUPKI menentukan perumusan dasar negara
yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa
sidang kedua ini ditambah enam anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal
10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia sembilan yang disebut
dengan piagam Jakarta. Di samping menerima hasil rumusan Panitia sembilan
dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga
kelompok panitia perancang Hukum Dasar yakni: 1) Panitia Perancang Hukum Dasar
diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota berjumlah 19 orang 2) Panitia Pembela
Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang 3) Panitia
ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi
panitia kecil Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia
kecil itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan
tugasnya Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering
disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya
tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia sembilan
yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukaddimah Hukum Dasar, dan
pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan
Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di
dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai mukaddimah.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945,
merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dan selesailah tugas badan tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1945
dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI 18
Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dan menetapkan:
- Piagam Jakarta sebagai
rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada tanggl 14 Juli 1945
dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.
- Rancangan Hukum Dasar yang
telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami
berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.
- Memilih Presiden dan Wakil
Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
- Menetapkan berdirinya Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai Badan Musyawarah Darurat.
Sidang kedua tanggal 19 Agustus 1945, PPKI membuat
pembagian daerah propinsi, termasuk pembentukan 12 departemen atau kementerian.
Sidang ketiga tanggal 20, membicarakan agenda badan penolong keluarga korban
perang, satu di antaranya adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada
22 Agustus 1945 diselenggarakan sidang PPKI keempat. Sidang ini membicarakan
pembentukan Komite Nasional Partai Nasional Indonesia. Setelah selesai sidang
keempat ini, maka PPKI secara tidak langsung bubar, dan para anggotanya menjadi
bagian Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Anggota KNIP ditambah dengan
pimpinan-pimpinan rakyat dari semua golongan atau aliran dari lapisan
masyarakat Indonesia.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi
dalam tiga kelompok.
- Rumusan Pancasila yang terdapat
dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik
Indonesia.
- Rumusan Pancasila yang
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar
filsafat Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi
Kemerdekaan.
- Beberapa rumusan dalam
perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan
Pancasila sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada
tujuh yakni:
- Rumusan dari Mr. Muh. Yamin
tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam pidato “Asas dan Dasar Negara
Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
- Rumusan dari Mr. Muh. Yamin
tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai usul tertulis yang diajukan
dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
- Soekarno, tanggal 1 Juni 1945
sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia Merdeka, dengan istilah
Pancasila (Rumusan III).
- Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni
1945, dengan susunan yang sistematik hasil kesepakatan yang pertama
(Rumusan IV).
- Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah rumusan pertama yang diakui secara
formal sebagai Dasar Filsafat Negara (Rumusan V).
- Mukaddimah KRIS tanggal 27
Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950 tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan
VI).
- Rumusan
dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila keempatnya berbunyi
Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).
Modul 3
FUNGSI DAN
KEDUDUKAN PANCASILA
Kegiatan
Belajar 1
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi
pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara
Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu
Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber
kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara
dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai arti
menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal
ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti melaksanakan
nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-undangan di negara
Republik Indonesia bersumber pada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
mempunyai implikasi bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum,
terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan
atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara (Suhadi, 1998). Cita-cita
hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan
Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
lebih lanjut terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah
dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR, undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
Kegiatan
Belajar 2
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan
hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang
terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi
sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka
akan berkembang secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa.
Pandangan hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya maupun manfaatnya oleh suatu bangsa sehingga darinya mampu
menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari.
Setiap bangsa di mana pun pasti selalu mempunyai
pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam hidup bermasyarakat. Demikian
juga dengan bangsa Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, sikap hdup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama
Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut
berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat
disebut sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang
kemudian memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa
Indonesia di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila di
samping merupakan cita-cita moral bagi bangsa Indonesia, juga sebagai
perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila sebagaimana termuat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil kesepakatan bersama bangsa
Indonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI. Oleh karena Pancasila
merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat Indonesia maka Pancasila sudah
seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.
Modul 4
PANCASILA DAN
PEMBUKAAN UUD’45
Kegiatan
Belajar 1
HUBUNGAN PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
Hubungan Secara Formal antara Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945: bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah seperti
yang tercantum dalam Pembukaan UUD’45; bahwa Pembukaan UUD’45 berkedudukan dan
berfungsi selain sebagai Mukadimah UUD’45 juga sebagai suatu yang bereksistensi
sendiri karena Pembukaan UUD’45 yang intinya Pancasila tidak tergantung pada
batang tubuh UUD’45, bahkan sebagai sumbernya; bahwa Pancasila sebagai inti
Pembukaan UUD’45 dengan demikian mempunyai kedudukan yang kuat, tetap, tidak
dapat diubah dan terlekat pada kelangsungan hidup Negara RI.
Hubungan Secara Material antara Pancasila dan
PembukaanUUD 1945: Proses Perumusan Pancasila: sidang BPUPKI membahas dasar
filsafat Pancasila, baru kemudian membahas Pembukaan UUD’45; sidang berikutnya
tersusun Piagam Jakarta sebagai wujud bentuk pertama Pembukaan UUD’45.
Kegiatan
Belajar 2
KEDUDUKAN HAKIKI PEMBUKAAN UUD’45
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kedudukan
yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia karena terlekat
pada proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga tidak bisa dirubah baik secara formal
maupun material. Adapun kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah pertama; Pembukaaan
Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan hakiki sebagai pernyataan kemerdekaan
yang terperinci, yaitu proklamasi kemerdekaan yang singkat dan padat 17 Agustus
1945 itu ditegaskan dan dijabarkan lebih lanjut dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.
Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
yang kedua adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung dasar,
rangka dan suasana bagi negara dan tertib hukum Indonesia. Maksudnya adalah
Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan pengejawantahan dari kesadaran dan cita-cita hukum serta
cita-cita moral rakyat Indonesia yang luhur (Suhadi, 1998).
Kedudukan hakiki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga adalah bahwa Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 memuat sendi-sendi mutlak bagi kehidupan negara, yaitu tujuan
negara, bentuk negara, asas kerohanian negara, dan pernyataan tentang
pembentukan UUD.
Modul 5
PELAKSANAAN
PANCASILA
Kegiatan
Belajar 1
PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Berbagai bentuk penyimpangan terhadap pemikiran dan
pelaksana-an Pancasila terjadi karena dilanggarnya prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan. Prinsip-prinsip itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu prinsip
ditinjau dari segi intrinsik (ke dalam) dan prinsip ditinjau dari segi
ekstrinsik (ke luar). Pancasila dari segi intrinsik harus konsisten, koheren,
dan koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi
penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab
jalur-jalur apa yang dapat digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan
Pancasila. Pranarka (1985) menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran
Pancasila, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran
akademis. Sementara Profesor Notonagoro (1974) menjelaskan adanya dua jalur
pelaksanaan Pancasila, yaitu jalur objektif dan subjektif.
Sejarah perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan
adanya kompleksitas permasalahan dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas
permasalahan tersebut meliputi (1) masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3)
masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah Pancasila itu Subject to change; dan
(5) problem evolusi dan kompleksitas di dalam pemikiran mengenai pemikiran
Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang perdebatan yang sarat dengan
kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas permasalahan di atas dapat
ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran politik kenegaraan, dan jalur
pemikiran akademis.
Jalur pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila
sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam
berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik. Para penyelenggara negara ini
berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat perundang-undangan
serta berbagai kebijakan dan tindakan. Tujuan penjabaran Pancasila dalam
konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan praktis. Metodologi
yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi, sebagaimana yang
telah diatur oleh UUD.
Permasalahan mengenai Pancasila tidak semuanya dapat
dipecahkan melalui jalur politik kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur
lain yang membantu memberikan kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur
itu adalah jalur akademis, yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis,
theologis, maupun filosofis.
Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah
untuk pengambilan keputusan atau kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek
pragmatis, sehingga kadang-kadang kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi,
dan korespondensi. Akibatnya kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif
dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran
akademis berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik
kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para
pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran
akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam
kebijakan politik kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan
belum tentu memiliki validitas atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji
secara akademis.
Jalur pemikiran ini sangat terkait dengan jalur
pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila dapat diklasifikasikan dalam dua jalur
utama, yaitu pelaksanaan objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk
realisasi nilai-nilai Pancasila pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik
di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan
dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara
Indonesia. Pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap
warga negara, setiap individu, setiap penduduk, setiap penguasa dan setiap
orang Indonesia. Menurut Notonagoro pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini
memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan Pancasila. Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro
dibentuk secara berangsur-angsur melalui proses pendidikan, baik pendidikan
formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Hasil yang akan diperoleh berupa pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan
dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk perundang-undangan, jika tidak
dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka tidak akan ada artinya,
sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara negara namun tidak didukung
oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak akan menghasilkan sesuatu
yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar
Negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila
dalam artian ini dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan
pelaksanaan Pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya
sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
Kegiatan
Belajar 2
REFORMASI PEMIKIRAN DAN PELAKSANAAN PANCASILA
Reformasi secara sempit dapat diartikan sebagai menata
kembali keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Reformasi
kadang disalahartikan sebagai suatu gerakan demonstrasi yang radikal, “semua
boleh”, penjarahan atau “pelengseran” penguasa tertentu. Beberapa catatan
penting yang harus diperhatikan agar orang tidak salah mengartikan reformasi,
antara lain sebagai berikut.
- Reformasi bukan revolusi
- Reformasi memerlukan proses
- Reformasi memerlukan perubahan
dan berkelanjutan
- Reformasi menyangkut masalah
struktural dan kultural
- Reformasi mensyaratkan adanya
skala prioritas dan agenda
- Reformasi memerlukan arah
Berbagai faktor yang mendorong munculnya gerakan
reformasi antara lain: Pertama, akumulasi kekecewaan masyarakat terutama
ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi dan politik; kedua, krisis ekonomi yang
tak kunjung selesai; ketiga, bangkitnya kesadaran demokrasi, keempat,
merajalelanya praktek KKN, kelima, kritik dan saran perubahan yang tidak
diperhatikan.
Gerakan reformasi menuntut reformasi total, artinya
memperbaiki segenap tatanan kehidupan bernegara, baik bidang hukum, politik,
ekonomi, sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Namun pada masa awal gerakan
reformasi, agenda yang mendesak untuk segera direalisasikan antara lain:
pertama, mengatasi krisis; kedua, melaksanakan reformasi, dan ketiga
melanjutkan pembangunan. Untuk dapat menjalankan agenda reformasi tersebut
dibutuhkan acuan nilai, dalam konteks ini relevansi Pancasila menarik untuk
dibicarakan.
Eksistensi Pancasila dalam reformasi di tengah
berbagai tuntutan dan euforia reformasi ternyata masih dianggap relevan, dengan
pertimbangan, antara lain: pertama, Pancasila dianggap merupakan satu-satunya
aset nasional yang tersisa dan diharapkan masih dapat menjadi perekat tali
persatuan yang hampir koyak. Keyakinan ini didukung oleh peranan Pancasila
sebagai pemersatu, hal ini telah terbukti secara historis dan sosiologis bangsa
Indonesia yang sangat plural baik ditinjau dari segi etnis, geografis, maupun
agama. Kedua, Secara yuridis, Pancasila merupakan Dasar Negara, jika dasar
negara berubah, maka berubahlah negara itu. Hal ini didukung oleh argumentasi
bahwa para pendukung gerakan reformasi yang tidak menuntut mengamandemen
Pembukaan UUD 1945 yang di sana terkandung pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD
1945 yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.
Kritik paling mendasar yang dialamatkan pada Pancasila
adalah tidak satunya antara teori dengan kenyataan, antara pemikiran dengan
pelaksanaan. Maka tuntutan reformasi adalah meletakkan Pancasila dalam satu
kesatuan antara pemikiran dan pelaksanaan. Gerakan reformasi mengkritik
kecenderungan digunakannya Pancasila sebagai alat kekuasaan, akhirnya hukum
diletakkan di bawah kekuasaan. Pancasila dijadikan mitos dan digunakan untuk
menyingkirkan kelompok lain yang tidak sepaham.
Beberapa usulan yang masih dapat diperdebatkan namun
kiranya penting bagi upaya mereformasi pemikiran Pancasila, antara lain:
Pertama, mengarahkan pemikiran Pancasila yang cenderung abstrak ke arah yang
lebih konkret. Kedua, mengarahkan pemikiran dari kecenderungan yang sangat
ideologis (untuk legitimasi kekuasaan) ke ilmiah. Ketiga, mengarahkan pemikiran
Pancasila dari kecenderungan subjektif ke objektif, yaitu dengan menggeser
pemikiran dengan menghilangkan egosentrisme pribadi, kelompok, atau partai,
dengan menumbuhkan kesadaran pluralisme, baik pluralisme sosial, politik,
budaya, dan agama.
Berbagai bentuk penyimpangan, terutama dalam pemikiran
politik kenegaraan dan dalam pelaksanaannya dimungkinkan terjadi karena
beberapa hal, di antaranya, antara lain: Pertama, adanya gap atau
ketidakkonsisten dalam pembuatan hukum atau perundang-undangan dengan filosofi,
asas dan norma hukumnya. Ibarat bangunan rumah, filosofi, asas dan norma hukum
adalah pondasi, maka undang-undang dasar dan perundang-undangan lain di
bawahnya merupakan bangunan yang dibangun di luar pondasi. Kenyataan ini
membawa implikasi pada lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara tidak dapat
memerankan fungsinya secara optimal. Para ahli hukum mendesak untuk diadakan
amandemen UUD 1945 dan mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga judicial review
yang memiliki independensi untuk menguji secara substansial dan prosedural
suatu produk hukum.
Kedua, Kelemahan yang terletak pada para penyelenggara
negara adalah maraknya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta
pemanfaatan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan dan menyingkirkan lawan-lawan
politik dan ekonomisnya.
Sosialisasi Pancasila juga mendapat kritik tajam di
era reformasi, sehingga keluarlah Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 untuk mencabut Tap
MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Berbagai usulan pemikiran tentang sosialisasi
Pancasila itu antara lain: menghindari jargon-jargon yang tidak berakar dari
realitas konkret dan hanya menjadi kata-kata kosong tanpa arti, sebagai contoh
slogan tentang “Kesaktian Pancasila”, slogan bahwa masyarakat Indonesia dari
dulu selalu berbhineka tunggal ika, padahal dalam kenyataan bangsa Indonesia
dari dulu juga saling bertempur, melaksanakan Pancasila secara murni dan
konsekuen, dan lain-lain. Menghindari pemaknaan Pancasila sebagai proposisi
pasif dan netral, tetapi lebih diarahkan pada pemaknaan yang lebih operasional,
contoh: Pancasila hendaknya dibaca sebagai kalimat kerja aktif, seperti
masyarakat dan negara Indonesia harus ….. mengesakan Tuhan, memanusiakan manusia agar lebih adil
dan beradab, mempersatukan Indonesia, memimpin rakyat dengan
hikmat/kebijaksanaan dalam suatu proses permusyawaratan perwakilan, menciptakan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sosialisasi diharapkan juga dalam
rangka lebih bersifat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan membodohkannya
sebagaimana yang terjadi pada penataran-penataran P-4, sehingga sosialisasi
lebih kritis, partisipatif, dialogis, dan argumentatif.
Modul 6
PANCASILA DAN
PERMASALAHAN AKTUAL
Kegiatan
Belajar 1
PANCASILA DAN PERMASALAHAN SARA
Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun
horisontal. Konflik vertikal misalnya antara si kuat dengan si lemah, antara
penguasa dengan rakyat, antara mayoritas dengan minoritas, dan sebagainya.
Sementara itu konflik horisontal ditunjukkan misalnya konflik antarumat
beragama, antarsuku, atarras, antargolongan dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan
potensi bagi munculnya konflik.
Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara yang tersusun atas berbagai unsur yang sangat
pluralistik, baik ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini
di satu pihak dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
bangsa, namun di lain pihak juga merupakan sumber potensial bagi munculnya
berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran
adanya kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas kenyataan dan pandangan.
Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak
memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain:
Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit disebutkan “Persatuan Indonesia“.
Kedua, Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan terutama
pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara,
terutama tentang hak-hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan terhadap
keunikan dan kekhasan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia juga
diakui, (1) seperti yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah, (2) Penjelasan Pasal 32 UUD
1945 tentang puncak-puncak kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya asing
yang sesuai dengan budaya Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36 tentang
peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa
secara normatif, para founding fathers negara Indonesia sangat menjunjung
tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas
pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain.
Justru pluralitas itu merupakan aset yang sangat
berharga bagi kejayaan bangsa.
Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila
sebagai alternatif pemikiran dalam rangka menyelesaikan masalah SARA ini antara
lain: Pertama, Pancasila merupakan paham yang mengakui adanya pluralitas
kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam satu wadah ke-indonesiaan. Kesatuan
tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak
boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah
berbagai produk hukum dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini
perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa
risiko sosial politik yang tinggi. Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di
dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan
kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat. Dalam
konteks ini pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya
idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan
bernegera yang diterima oleh masyarakat
Kegiatan
Belajar 2
PANCASILA DAN PERMASALAHAN HAM
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa,
adalah hak yang melekat pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia
hidup sebagaimana layaknya manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi
manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam arti kebenarannya
seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan tidak memerlukan penjelasan
lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks,
setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus dicermati dalam membahas
masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang hangat
dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah
utama yang menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara
lain: HAM, demokratisasi dan pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu HAM selalu
diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai peringatan diterimanya
Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember 1948. (3)
Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara
negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk
penekanan secara ekonomis dan politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara
paham universalisme dan partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu
ukurannya bersifat universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham
partikularisme memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas
tentang HAM sesuai dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap
bangsa dibenarkan memiliki ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu
(1) tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku
universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran
ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak kewarganegaraan,
sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara tertentu. (3)
tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan
situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia
dapat ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945,
Tap-Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam Pembukaan UUD 1945 masih
bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD
1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan
beragama (Pasal 29 ayat 2); Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2); Hak
atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan
penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945, antara lain: pertama, UUD
1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga tidak secara eksplisit menyebut
Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut adalah hak-hak warga negara. Kedua,
Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi
RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk
Undang-undang yang diserahkan kepada DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap
Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia.
Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap
hak asasi manusia, terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan
substansi, serta pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia. Pada bagian
Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang terdiri
dari 10 bab 44 pasal
Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara
eksplisit antara lain:
- Hak untuk hidup
- Hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan
- Hak mengembangkan diri
- Hak keadilan
- Hak kemerdekaan
- Hak atas kebebasan informasi
- Hak keamanan
- Hak kesejahteraan
- Kewajiban menghormati hak orang
lain dan kewajiban membela negara
- Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini
adalah Tap ini merupakan upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang
bersumber pada UUD 1945 dengan mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kegiatan
Belajar 3
PANCASILA DAN KRISIS EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi pada masa Orba
ternyata tidak berkelanjutan karena terjadinya berbagai ketimpangan ekonomi
yang besar, baik antargolongan, antara daerah, dan antara sektor akhirnya
melahirkan krisis ekonomi. Krisis ini semula berawal dari perubahan kurs dolar
yang begitu tinggi, kemudian menjalar ke krisis ekonomi, dan akhirnya krisis kepercayaan
pada segenap sektor tidak hanya ekonomi.
Kegagalan ekonomi ini disebabkan antara lain oleh
tidak diterapkannya prinsip-prinsip ekonomi dalam kelembagaan, ketidak-
merataan ekonomi, dan lain-lain. yang juga dipicu dengan maraknya praktek
monopoli, Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme oleh para penyelenggara negara
Sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan diri pada
filsafat Pancasila serta konstitusi UUD 1945, dan landasan operasionalnya GBHN
sering disebut Sistem Ekonomi Pancasila. Prinsip-prinsip yang dikembangkan
dalam Sistem Ekonomi Pancasila antara lain: mengenal etik dan moral agama,
tidak semata-mata mengejar materi. mencerminkan hakikat kemusiaan, yang
memiliki unsur jiwa-raga, sebagai makhluk individu-sosial, sebagai makhluk
Tuhan-pribadi mandiri. Sistem demikian tidak mengenal eksploitasi manusia atas
manusia, menjunjung tinggi kebersamaan, kekeluargaan, dan kemitraan,
mengutamakan hajat hidup rakyat banyak, dan menitikberatkan pada kemakmuran
masyarakat bukan kemakmuran individu.
==============
DAFTAR PUSTAKA
Modul 1
PANCASILA DAN PENGETAHUAN ILMIAH
1. Bakry, Noor M.S. (1994). Orientasi Filsafat
Pancasila. Yogyakarta: Liberty
2. Bertens (1989). Filsafat Barat Abad XX. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
3. Ismaun. Tinjauan Pancasila Dasar Filsafat Negara
Indonesia.
4. Jacob (1999). Nilai-nilai Pancasila sebagai
Orientasi Pengembangan IPTEK. Yogyakarta: Interskip dosen-dosen Pancasila se
Indonesia
5. Kaelan (1986). Filsafat Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma
6. Kaelan (1996). Filsafat Pancasila Yuridis
Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
7. Kaelan (1998). Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
8. Kaelan (1999). Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan. Yogyakarta: Penerbit Paradigma
9. Kattsoff, Louis O. (1986). Element of Philosophy
(Terjemahan Soejono Soemargono: Filsafat). Yogyakarta: Tiara Wancana
10. Liang Gie, The (1998). Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta:
PUBIB
11. Notonegoro (1975). Pancasila Secara Utuh Populer.
Jakarta: Pancoran Tujuh
12. Pangeran, Alhaj (1998). BMP Pendidikan Pancasila.
Jakarta: Penerbit Karunika
13. Soemargono, Soejono (1986). Filsafat Umum
Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahaya
14. Soeprapto, Sri (1997). Pendidikan Pancasila Untuk
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: LP-3-UGM
15. Sutardjo (1999). Dasar Esensial Calon Sarjana
Pancasila. Jakarta: Balai Pustaka
16. Syafitri, Muarif Achmad (1985). Islam dan Masalah
Kengeraan. Penerbit
17. Wibisono, Koento (1999). Refleksi Kritis Terhadap
Reformasi: Suatu Tinjauan Filsafat dalam jurnal Pancasila No 3 Tahun III Juni
1999. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM
18. Yamin, Muhammad). Pembahasan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia. Jakarta: Prapanca
19. Zubair A., Charris (1995). Kuliah Etika. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Modul 2
ASAL MULA PANCASILA
1. A.T. Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari Aspek
Historis, FPIPS – IKIP, Semarang.
2. A.T. Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa
Sebagai Titik Tolak Memahami Asal Mula Pancasila, Makalah Internship
Dosen-Dosen Pancasila se Indonesia, Yogyakarta.
3. Alhaj dan Patria, 1998. BMP. Pendidikan Pancasila.
Penerbit Karunika, Jakarta 4 – 5.
4. Bakry Noor M, 1998, Pancasila Yuridis Kenegaraan,
Liberty, Yogyakarta.
5. Dardji Darmodihardjo, 1978, Santiaji Pancasila,
Lapasila, Malang.
6. Harun Nasution, 1983. Filsafat Agama, NV Bulan
Bintang. Jakarta.
7. Kaelan, 1993, Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
8. Kaelan, 1999, Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
9. Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan Mentalitet dan
Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta.
10. Notonagoro, 1957, Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila Cet. 2, Pantjoran tujuh Jakarta.
11. Soenoto, 1984, Filsafat Pancasila Pendekatan
Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya, PT. Hanindita, Yogyakarta.
Modul 3
FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA
1. Heuken, 1988, Ensiklopedi Populer Politik
Pembangunan Pancasila, edisi 6, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.
2. Kaelan, 1996, Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
3. Koentjaraningrat, 1980, Manusia dan Kebudayaan
Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.
4. Manuel Kasiepo, 1982, Dari kepolitikan Birokratik
ke Korporatisme Negara, Birokrasi, dan Politik di Indonesia Era Orde Baru,
Dalam Jurnal Ilmu Politik, AIPI-LIPI, PT. Gramedia, Jakarta.
5. Notonagoro, 1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila, Cet. 9, Pantjoran tujuh, Jakarta.
6. Soeprapto, 1997, Pendidikan Pancasila Untuk
Perguruan Tinggi, LP.3 UGM, Jogjakarta.
7. Suhadi, 1995, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah
Fakultas Filasafat, UGM. Jogjakarta.
8. Suhadi, 1998, Pendidikan Pancasila, Diktat Kuliah,
Jogjakarta.
Modul 4
PANCASILA DAN PEMBUKAAN UUD’45
1. Kaelan, 1999, Pendidikan Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Paradigma, Jogjakarta.
2. Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer,
Pantjuran Tujuh, Jakarta.
Modul 5
PELAKSANAAN PANCASILA
1. Hadi Sitia Unggul, SH, 2001, Ketetapan MPR 2001,
2000 dan perubahan I dan II UUD 1945, Harvarindo, Jakarta.
2. Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam,
Mizan, Bandung.
3. Moh. Mahfud, 1998, Pancasila Sebagai Paradigma
Pembaharuan Tatanan Hukum, dalam Jurnal Pancasila no. 32 Tahun II, Desember
1998, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
4. Notonagoro, 1971, Pancasila Secara ilmiah Populer,
Pantjuran Tujuh, Jakarta.
5. Oxford Advanced Learner ‘s Dictionary of Current
English*, 1980
6. Pranarka, A.M.W., 1985, SejarahPemikiran Tentang
Pancasila, CSIS, Jakarta.
7. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 1999, Reformasi
di Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah, dalam Jurnal Pancasila no. 3
Tahun III, Juli 1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
8. Susilo Bambang Yudhoyono, 1999, Keformasi Politik
dan Keamanan (Refleksi Kritis), dalam Jurnal Pancasila no. 3 Tahun III, Juli
1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
Modul 6
PANCASILA DAN PERMASALAHAN AKTUAL Pustaka Primer
1. Undang-Undang Dasar 1945 beserta Amandemen Tahap
Pertama
2. Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang Istimewa
tahun 1998
3. Ketetapan-Ketetapan MPR RI dalam Sidang Umum tahun
1998
Pustaka Sekunder
1. Nopirin, 1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila, Pancoran Tujuh, Jakarta, Cet 9.
2. Nopirin,1999, Nilai-nilai Pancasila sebagi Strategi
Pengembangan Ekonomi Indonesia, Internship Dosen-Desen Pancasila Se-Indonesia,
Yogyakarta.
3. Pranarka, A.M.W., 1985, Sejarah Pemikiran Tentang
Pancasila, CSIS, Jakarta.
4. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 1999, Reformasi
di Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah, dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th
III Juni 1999, Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
5. Susilo Bambang Yudhoyono, 1999, Reformasi Politik
dan Keamanan (Refleksi Kritis), dalam Jurnal Pancasila No. 3 Th III Juni 1999,
Pusat Studi Pancasila UGM, Yogyakarta.
6. Syaidus Syakar, 1975, Pancasila pohon
Kemasyarakatan dan Kenegaraan Indonesia, Alumni, Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar